![]() |
Kesultanan Aceh |
Aceh berkembang seiring dengan jatuhnya Kesultanan Malaka
dan menjadi kota pelabuhan serta pusat perdagangan yang ramai. Para pembesar
Aceh kemudian membangun daerahnya menjadi sebuah kesultanan bercorak Islam.
Tujuannya, untuk menyaingi Bandar dagang Malaka yang dikelola bangsa Portugis.
Sultan pertama Aceh adalah Ali Mughayat Syah (1513-1528 M).
Ibu kota pemerintahan Kesultanan Aceh berada di Kotaraja (Banda Aceh sekarang).
Ia kemudian meluaskan pengaruh kekuasaannya dan menaklukkan daerah Daya, Pasai,
Siak, dan Aru. Ali Mughayat Syah dikenal sebagai raja yang cerdas dan ahli
dalam memerintah. Di bawah pemerintahannya, Kesultanan Aceh tumbuh dan
berkembang menjadi kesultanan Islam yang kuat dan disegani.
Kejayaan Kesultanan Aceh dicapai pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Ia mampu membangun armada laut yang kuat
sehingga dapat meluaskan daerah kekuasaannya sampai ke Semenanjung Malaya.
Selain itu, ia juga menaklukkan Johor (1615 M), Pahang (1617 M), dan Kedah (1620
M). Pada 1629 M, Sultan Iskandar Muda mengirim ratusan kapal perang untuk
merebut Malaka, tetapi tidak berhasil. Sebelum tujuannya tercapai, ia wafat
pada 1636 M. Kedudukannya digantikan oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani.
Di bawah Sultan Iskandar Thani, Aceh tetap jaya. Namun,
setelah ia wafat (1641 M) Aceh mengalami kemunduran. Penyebabnya, terjadi
pertikaian di kalangan keluarga sultan. Keadaan tersebut mendorong para
hulubalang mengangkat putri Iskandar Muda menjadi Sultan Aceh yang baru. Setelah
naik takhta, ia memakai gelar Tajul Alam Safiatudin Syah (1641-1675 M). Sultan
terakhir Aceh ialah Sultan Ibrahim (1883-1870 M) yang bergelar Sultan Ali
Alaudin Syah. Ia dikenal sebagai Sultan Aceh yang tegas dan pemberani dalam
menghadapi orang-orang Belanda. Kesultanan tersebut berkembang selama empat
abad sampai Belanda mengalahkannya dalam Perang Aceh (1873-1912 M).
Kesultanan Aceh merupakan daerah yang subur bagi pertanian.
Wilayahnya di kelilingi oleh sungai dan lautan. Kesultanan Aceh merupakan kesultanan
Islam yang bercorak agraris dan maritim. Pelayaran dan perdagangan merupakan
sumber perekonomian utama. Sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan,
Kesultanan Aceh memperoleh pemasukan keuangan dari berbagai sumber.
Kesultanan Aceh menerapkan sistem perdagangan yang bebas dan
terbuka. Para pedagang dari berbagai daerah di Nusantara datang berdagang di
Aceh. Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh, perekonomian rakyatnya sangat maju.
Barang-barang ekspor penting, seperti timah dan lada dikuasai oleh para
pedagang Aceh. Selain itu, Aceh juga menguasai Selat Malaka yang merupakan
jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia. Para pedagang Arab, Persia,
Turki, India, Cina dan Siam berhubungan dagang dengan Aceh. Kapal-kapaldagang
Aceh juga mampu berlayar sampai ke Laut Tengah.
Aceh terbuka bagi bangsa-bangsa lain asalkan mereka tidak
ikut campur dalam urusan dalam negeri. Dalam sistem masyarakat, Aceh terbagi ke
dalam dua golongan, yaitu golongan masyarakat bangsawan yang berkuasa atas
pemerintahan disebut teuku dan
golongan masyarakat ulama yang berpengaruh dalam keagamaan dan dan kemasyarakatan disebut tengku. Kedua golongan masyarakat
tersebut terkadang bersaing dan menyebabkan pertahanan kesultanan Aceh mejadi
lemah.
Dalam bidang keagamaan, di Kesultanan Aceh berkembang dua
aliran agama Islam, yaitu aliran Syiah dan Sunnah Wal Jama’ah. Aliran Syiah
disebarluaskan oleh Hamzah Fansuri, yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya
Samsuddin pasai. Tokoh penyebar aliran Sunnah Wal Jama’ah ialah Nuruddin Ar-Raniri.
Sumber : Buku Sejarah karya Nana Supriatna
Kesultanan Aceh
4/
5
Oleh
Yusri Triadi