![]() |
Kesultanan Samudera Pasai |
Sejak 1283 M, Samudera Pasai dikuasai oleh Nazimuddin
Al-Kamil yang kemudian membangun sebuah kerajaan bercorak Islam. Marah Silu
diangkat menjadi raja Samudera Pasai dengan gelar Sultan Malik al-Saleh
(1290-1297 M). Pada 1297 M, Sultan Malik al-Saleh digantikan oleh putranya,
Sultan Muhammad Malik al-Taher. Sultan Samudera Pasai berikutnya ialah Sultan
Ahmad dan Sultan Zainul Abidin.
Sistem pemerintahan di Kesultanan Samudera Pasai bersifat
teokrasi, artinya pemerintahan yang berdasarkan agama Islam. Sultan-sultan
Pasai menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan-kerajaan di luar negeri
seperti dengan Campa (India), Cina, dan Malaka. Dengan Kerajaan Majapahit juga
dijalin hubungan kerja sama yang akrab.
Disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai, Zainul Abidin pada
1511 M melarikan diri dan berlindung di Kerajaan Majapahit. Ternyata, ia
mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya
hubungan kekerabatan antara penguasa Kesultanan Samudera Pasai dan penguasa
Kerajaan Majapahit terbina cukup baik. Menurut berita Cina disebutkan bahwa
dalam pertengahan abad ke-15 M Kesultanan Samudera Pasai mengirimkan utusan ke
negeri Cina. Hal ini berarti hubungan diplomatic antara Kesultanan Samudera
Pasai dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Nusantara telah terjalin.
Sebelum menjadi kesultanan Islam, Samudera Pasai pada
mulanya merupakan kota pelabuhan terpenting di Nusantara. Sebelumnya, kota
pelabuhan tersebut berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Namun, karena
Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran, pengawasan terhadap Samudera Pasai
menjadi terbengkalai. Para pembesar Samudera Pasai kemudian memanfaatkan
kesempatan tersebut dengan mendirikan kerajaan yang bercorak Islam atau
kesultanan.
Secara politik, pendirian kesultanan itu sangat
menguntungkan dalam menghadapi persaingan dagang dengan Malaka dan Siam. Sejak
saat itu, para pedagang dari India, Mala, Cina, Tuban, Gresik, Pelembang, dan
daerah-daerah lain berdatangan ke Samudera Pasai. Setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis, para pedagang tersebut tidak mau lagi berdagang di sana.
Mereka memilih berdagang di Samudera Pasai dan kota-kota pelabuhan lainnya.
Itulah sebabnya, kegiatan perdagangan dan pelayaran di Samudera pasai menjadi
ramai. Dalam waktu singkat, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan
dan pusat kekuasaan Islam di Indonesia.
Menurut catatan Ibnu Batutah, Samudera Pasai merupakan kota
pelabuhan terpenting di Sumatera. Kapal-kapal dagang dari Cina dan India banyak
yang singgah untuk membongkar dan memuat barang-barang dagangan. Para pedagang
Nusantara pun banyak yang ikut berdagang di Samudera Pasai.
Peninggalan sejarah Kesultanan Samudera Pasai telah banyak
ditemukan, seperti bekas istana, batu nisan, masjid, dan naskah-naskah kesusastraan.
Di daerah bekas lokasi Kesultanan Samudera Pasai banyak ditemukan makam
sultan-sultan dan tokoh-tokoh Islam. Makam Sultan Malik al-Saleh yang meninggal
pada 676 M juga ditemukan di sana. Jirat-jirat yang terdapat di tempat
pemakaman sultan-sultan Samudera Pasai didatangkan dari India.
Menurut sumber sejarah diketahui bahwa istana Kesultanan
Samudera Pasai telah disusun dan diatur menurut seni budaya India. Bahkan, di
antara para pembesar kesultanan ada yang berasal dari Persia (Iran) dan seorang
patihnya bergelar Amir. Ini
menunjukkan sistem dan struktur social masyarakat Kesultanan Samudera Pasai
sangat dipengaruhi oleh agama Islam.
Sumber : Buku Sejarah karya Nana Supriatna
Kesultanan Samudera Pasai
4/
5
Oleh
Yusri Triadi